Adakah Puber Kedua?
Besarnya tuntutan kehidupan yang dibuat-buat oleh masyarakat masa kini sering kali menimbulkan sebuah permasalahan baru. Tak terkecuali apabila tolak ukurnya adalah kemaslahatan dan kesuksesan duniawi saja.
Akhir-akhir ini, muncul sebuah istilah baru yang cukup menggelitik. Sebuah istilah yang muncul akibat adanya pergolakan batin dan perubahan perilaku yang dialami oleh sebagian kecil dari mereka yang telah mencapai umur 40 tahun. Ya, istilah tersebut adalah “puber kedua”.
Puber kedua dalam tinjauan medis
Dalam dunia medis, istilah puber kedua sebenarnya tidak ada. Perubahan yang terjadi di usia paruh baya ini, baik secara fisik maupun emosional, sebenarnya masih menjadi bagian alami dari proses penuaan.
Puber kedua ini seringkali disebut juga dengan midlife crisis (krisis paruh baya). Periode ini dialami oleh 10–20 persen orang paruh baya, yang umumnya berumur 40 tahun hingga di atas 50 tahun. Banyak faktor yang dapat memicu midlife crisis atau puber kedua ini, mulai dari perceraian, kehilangan pekerjaan, hingga kematian.
Mengutip dari situs halodoc.com, pada sebuah artikel berjudul “Masuk Usia 40, Pria Alami Puber Kedua?” disebutkan,
“Di saat semua aspek kehidupan telah stabil, maka saat itulah muncul kejenuhan. Ketika jenuh dirasakan, banyak pria mulai melakukan hal yang tidak biasa. Para pria ingin membuktikan apabila dirinya masih sama hebatnya ketika masih remaja. Kebanyakan pria pada usia 40-an berusaha menolak kenyataan bila dirinya sudah mulai tua. Fase inilah yang biasanya disebut dengan ciri-ciri puber kedua pada laki-laki atau pria.”
Dari pemaparan singkat di atas dapat kita simpulkan bahwa puber kedua berbeda dengan puber pertama. Puber pertama dirasakan oleh semua orang, sedangkan puber kedua hanya dialami oleh sebagian orang saja. Puber pertama sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perubahan fisiologi tubuh seseorang. Adapun fenomena puber kedua, maka seringkali hanya berhubungan dengan perubahan perilaku yang disebabkan oleh ketidakstabilan emosi dan stres yang dialami oleh seseorang.
Lalu, seperti apa Islam memandang mereka yang telah melewati umur 40 tahun ini?
Baca Juga: Waktu yang Ideal Berhubungan Badan Suami-Istri
Umur 40 tahun dalam tinjauan syariat
Dalam Islam, umur 40 tahun merupakan puncak emas dalam tingkatan kehidupan seseorang. Pada umur 40 tahun ini, pemahaman seseorang telah sempurna dan telah banyak pengalaman hidup yang ia rasakan. Mereka yang telah melewati umur 40 tahun ini sangat dianjurkan untuk berhenti sebentar, meresapi, dan mengoreksi kembali akan umur yang telah ia habiskan.
Di Al-Qur’an, “umur 40 tahun” Allah Ta’ala sebutkan di dalam firman-Nya,
حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Allah Ta’ala juga menjadikan umur 40 tahun sebagai patokan diutusnya para nabi dan rasul kepada umat mereka, tak terkecuali nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أنزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ابن أربعين، فمكث بمكة ثلاث عشرة سنة، ثم أمر بالهجرة فهاجر إلى المدينة، فمكث بها عشر سنين، ثم توفي صلى الله عليه وسلم
“Wahyu diturunkan kepada Rasulullah ketika umur beliau 40 tahun. Maka, beliau menetap di Makkah selama 13 tahun. Kemudian Allah perintahkan beliau untuk berhijrah ke Madinah. Lalu, beliau pun menetap di sana selama 10 tahun. Kemudian, Rasulullah pun wafat (di sana).” (HR. Bukhari no. 3851)
Alasannya, saat seseorang mencapai usia 40 tahun, maka kecerdasan dan kekuatannya telah matang dan sempurna. Akalnya telah siap untuk mencermati dan menganalisa sesuatu dengan lebih tenang dan fitrahnya yang benar dan lurus akan lebih fokus dan mengarahkannya untuk mempersiapkan kehidupan setelah kematian, membuatnya lebih memprioritaskan kehidupan akhirat dari pada kehidupan yang fana ini.
Al-Asfahani rahimahullah berkata,
إن الإنسان إذا بلغ هذا القدر يتقوى خلقه الذي هو عليه، فلا يكاد يزايله بعد ذلك
“Apabila seseorang telah mencapai level ini, maka akan semakin kuat karakter dan sifat yang ada pada dirinya, sehingga hampir-hampir ia tidak akan mampu mengubah dan menghilangkannya setelah itu.” (Fathul Bayan fii Maqasid Al-Qur’an, 6: 308).
Perkataan di atas dengan jelas menyebutkan adanya perubahan emosi dan pola pikir bagi mereka yang melewati umur 40 tahun. Dan itu tidak terbatas pada perubahan menuju sesuatu yang baik saja, bisa jadi perubahan tersebut menuju ke arah yang salah dan buruk. Oleh karenanya, Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam membiasakan dirinya dan mengajarkan umatnya sebuah doa yang sangat baik,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706)
Al-Qurtubi rahimahullah di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan,
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa mereka yang telah mencapai 40 tahun, maka telah datang waktu bagi dirinya untuk menyadari betapa besarnya kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya dan kedua orangtuanya, sehingga ia berterimakasih dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.
Imam Malik juga pernah mengatakan, ‘Aku dapati para ahli ilmu di negeriku mereka adalah pemburu dunia dan terlalu sering berkumpul dengan orang lain, hingga mereka memasuki umur 40 tahun. Apabila umur 40 tahun itu datang menghampirinya, maka mereka menyendiri dari manusia.’” (Tafsir Al-Qurtubi, 7: 276)
Baca Juga: Salah Kaprah: Jika Suami Meninggal, Semua Hartanya Jadi Milik Istri
Solusi syariat agar selamat dari krisis paruh baya
Pada ayat 15 dari surah Al-Ahqaf yang telah kita sebutkan sebelumnya, terdapat beberapa amalan dan kewajiban yang sudah selayaknya dipraktikkan oleh mereka yang telah diberikan nikmat umur hingga mencapai 40 tahun ini. Dengan mempraktikkan amalan-amalan ini, ia akan selamat dan terhindar dari krisis mental dan rusaknya agama ketika telah mencapai usia 40 tahun.
Pertama, semangat di dalam bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya selama 40 tahun.
Baik itu nikmat kesehatan tubuh, nikmat penglihatan, pendengaran, akal fikiran, dan yang paling utama, nikmat berada di atas agama Islam serta teguh di dalam memeluknya. Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Rasa syukur merupakan sebab ditambahnya nikmat dan rezeki. Allah Ta’ala berfirman,
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7)
Selain itu, rasa syukur pastinya akan membuat seseorang layak untuk mendapatkan balasan dari Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145)
Kedua, memanfaatkan sisa umur dengan bersemangat di dalam melaksanakan amal kebaikan yang akan mendatangkan keridaan Allah Ta’ala.
Tidak ada yang lebih mulia dan lebih besar daripada keridaan Allah Ta’ala. Sayangnya, apa yang terkadang dianggap sebagai sebuah ketaatan dan amal kebaikan oleh seorang hamba terkadang tidak mendatangkan keridaan Allah sama sekali. Justru sebaliknya, amalan yang dia lakukan tersebut sejatinya justru mendatangkaan kemurkaan dari Allah Ta’ala.
Lalu, bagaimana cara terbaik untuk meraih keridaan Allah Ta’ala? Allah Ta’ala berfirman,
وَسَيُجَنَّبُهَا الْاَتْقَىۙ * الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهٗ يَتَزَكّٰىۚ * وَمَا لِاَحَدٍ عِنْدَهٗ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزٰىٓۙ * اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْاَعْلٰىۚ * وَلَسَوْفَ يَرْضٰى
“Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan darinya (neraka), orang yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat yang ada padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna).” (QS. Al-Lail: 17-21)
Allah Ta’ala mengisyaratkan bahwa amalan yang diridai oleh-Nya adalah amalan yang dilaksanakan dengan keikhlasan penuh dan hanya diperuntukkan untuk-Nya saja.
Ketiga, kesadaran penuh untuk mendidik dan memperhatikan anak keturunan serta membesarkan mereka di atas agama Islam yang lurus.
Allah Ta’ala menyebutkan di dalam ayat tersebut,
وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَتِي
“Dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.”
Dalam kitab Zubdatu At-Tafsir disebutkan bahwa maknanya adalah, “Jadikanlah anak keturunanku orang-orang yang benar-benar saleh”, karena anak yang saleh merupakan sebaik-sebaik nikmat bagi orang tuanya.
Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan kepada kita, bagaimana semangat beliau di dalam menjaga anak keturunannya agar senantiasa di atas agama Islam yang lurus ini. Beliau berdoa,
وَاجْنُبنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Baca Juga: Berapa Frekuensi Berhubungan Intim Suami-Istri Menurut Syariat?
Keempat dan terakhir, bertobat dengan benar dan istikamah di jalan Islam.
Allah Ta’ala tatkala menceritakan tentang orang yang berdoa dan meminta kepada Allah Ta’ala perihal ketiga hal sebelumnya, Allah Ta’ala sebutkan setelahnya,
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau. Dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa doa tidak dikabulkan, kecuali jika disertai dengan tobat dari segala macam kesyirikan dan kemaksiatan.
Ketahuilah wahai saudaraku, kesyirikan, dosa, dan kemaksiatan akan menghalangi terkabulnya doa seorang hamba. Ingatlah, bagaimana Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan tubuhnya penuh debu. Ketika lelaki itu berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allah, “Wahai Rabb, Wahai Rabb …” Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ومَطْعَمُهُ حَرامٌ، ومَشْرَبُهُ حَرامٌ، ومَلْبَسُهُ حَرامٌ، وغُذِيَ بالحَرامِ، فأنَّى يُسْتَجابُ لذلكَ؟!
“(Sedangkan) laki-laki tersebut mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal, pakaiannya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal. Maka, bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh Allah)?” (HR. Muslim no. 1015)
Laki-laki yang disebutkan di dalam hadis berpeluang besar doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala karena terdapat sebab-sebab terkabulnya doa pada diri orang tersebut, yaitu kondisinya yang sedang dalam safar, mengangkat kedua tangannya ke langit, seraya menyebut nama Allah dengan salah satu nama-Nya yang mulia ketika berdoa. Hanya saja, tidak Allah Ta’ala kabulkan do’anya karena satu sebab, yaitu makanan dan minuman serta pakaian yang ia kenakan berasal dari sesuatu yang haram.
Wallahu a’lam bisshawab.
Baca Juga:
- Suami Menolak Ajakan Istri Berhubungan Intim Apakah Berdosa?
- Suami Sering Makan Enak di Luar Rumah, Istri Makan Seadanya?
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/78887-adakah-puber-kedua.html